KULIAH UMUM: MENELUSURI BUDAYA KAWIN ANAK DI INDONESIA (PERSPEKTIF STUDI AGAMA)

Prodi Studi Agama-agama melaksanakan kuliah umum bertemakan “Menelusuri Budaya Kawin Anak: Perspektif Agama” pada tanggal 30 November 2022. Narasumber pada kegiatan ini adalah Unsiyah Siti Marhamah, M.A., alumni Prodi Studi Agama-agama yang sekarang aktif menjadi praktisi sosial keagamaan di Plan Internasional Indonesia. Dalam kegiatan ini, narasumber akan menyampaikan hasil penelitiannya terkait budaya kawin anak di Indonesia.

Kaprodi Studi Agama-agama, Dr. Dian Nur Anna, M.A., dalam sambutannya, menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan memberikan wawasan para peserta mengenai salah satu tema yang masih happening dalam masyarakat, yakni tentang budaya kawin anak, dilihat dari perspektif studi agama. Selain itu, dengan kegiatan ini, diharapkan para peserta, khususnya para mahasiswa Studi Agama-agama bisa mendapat gambaran terkait profil lulusan Studi Agama-agama sebagai praktisi sosial keagamaan. Dengan demikian para mahasiswa SAA tidak perlu khawatir akan menjadi apa nantinya jika telah lulus kuliah.

Narasumber mengawali presentasinya dengan menggunakan slido untuk mengetahui minat dan harapan para peserta menghadiri kegiatan tersebut. Selanjutnya, dalam menyampaikan materi, dia menunjukkan tentang hasil penelitiannya terkait banyaknya kasus kawin anak yang marak terjadi di Indonesia. Agama, menjadi salah satu legitimasi akan maraknya kasus tersebut. Hal ini karena teks-teks keagamaan terkait anjuran menikah yang sering disalahpahami sehingga menyebabkan salah penerapannya. Beberapa teks-teks tersebut cenderung diinterpretasikan untuk “bersegera dalam menikah” karena tidak secara eksplisit menyebutkan batas umur yang spesifik, sehingga kecenderungannya pada legitimasi pernikahan anak daripada aturan hukum negara Indonesia. Padahal pernikahan anak membutuhkan banyak kesiapan seperti fisik, ekonomi, pengetahuan, mental dan spiritual. Terkait kasus ini, pemerintah telah menetapkan usia batas minimum yakni 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, hal ini belum tersosialisasi dengan baik di seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam sesi diskusi, para peserta terlihat sangat antusias. Ada enam peserta yang bertanya. Salah satu pertanyaannya adalah terkait peran pemerintah dalam menyampaikan sosialisasi terkait undang-undang perkawinan yang telah menetapkan usia batas minimum pernikahan bagi perempuan dan laki-laki. Unsiyah menjawab bahwa Indonesia adalah negara yang sangat luas sehingga pemerintah belum optimal melakukan sosialisasi, sehingga perlu inovasi dalam mencapai hal tersebut. Akan tetapi, Unsiyah juga merekomendasikan kepada masyarakat bahwa saat ini teknologi sudah sangat berkembang, seharusnya sudah bukan hal sulit untuk mencari tahu tentang informasi tersebut di media social.

Kegiatan pun diakhiri dengan closing statement dari narasumber, yakni bahwa pernikahan seyogyanya menjadikan tenang dan tentram dalam kehidupan. Jika pernikahan hanya menambah problemdan kegelisahan, berarti itu bukanlah pernikahan yang dituju dalam perspektif agama.