Belajar Mengendalikan Diri dalam Agama-agama dengan Berpuasa
Tinggal menghitung hari, kita, umat islam, akan bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Bulan penuh berkah di mana amal-amalan baik kita akan dilipatgandakan. Sedangkan kejelekan dan dosa akan “dibakar”. Makna dibakar memang merujuk langsung secara literal pada asal katanya, yakniramad,yang berarti “dipanaskan oleh panasnya matahari” atau “pembakaran”. Memang, tujuan hadirnya bulan Ramadhan adalah untuk melatih diri kita agar lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Belas Kasih dan Maha Luas Ampunan-Nya.
Sebagai manusia, kita memiliki keinginan yang tak terbatas. Sehingga, seringkali keinginan-keinginan itu mewujud dalam sifat-sifat kurang terpuji seperti tamak, kikir, boros dan sifat lain agar nafsu terdalam kita terpuaskan. Mengikuti keinginan tak terbatas menjadikan kita merasa lelah setiap saat. Kita sering berpikir pasti ada yang kurang. Jika dalam konteks agama Hindu, mengikuti lingkaran nafsu disebutsamsara.Sebuah lingkar penderitaan dalam siklus kehidupan. Padahal, manusia diberi kekuatan untuk memilih dan menentukan perilaku apa yang akan dirinya lakukan. Di sini peran puasa sangat besar, yakni membangunself-discipline.
Puasa dalam Bahasa Arab adalahshaumyang berarti “menahan diri”. Inti dari puasa salah satunya agar sebagai manusia kita punya kendali penuh pada diri sendiri. Tidak dikendalikan oleh nafsu sesaat atau pikiran-pikiran buruk. Dengan berpuasa, pola makan kita lebih teratur, kapan harus makan dan kapan harus berhenti. Ada zakatfitrah, sebagai sarana melatih diri agar kita tidak menggantungkan diri pada aspek material. Untuk itu, Ramadhan seyogyanya dijadikan waktu untuk mendisiplinkan diri baik dari segi fisik, spiritual, emosional, ritual dan sosial.
Tujuan pendisiplinan diri saat Ramadhan sebisa mungkin bisa terwujud pada bulan-bulan setelahnya, bukan hanya Ramadhan saja. Jika kita ada niat untuk membentuk sebuah kebiasaan baru, Ramadhan adalah waktu yang tepat. Selain karena mengotomatisasi perilaku butuh waktu, pendisiplinan diri sangat penting. Diperlukan minimal 21 hari untuk membentuk suatu kebiasaan baru, menurut Dr. Maxwell Maltz dalam bukunya“Psycho Cybernetics (1960)”.Maka Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk melatih kita dalam meregulasi diri agar lebih baik lagi. Lalu bagaimana ritual puasa dipahami dalam agama lain?
Jangan salah, tidak hanya Islam yang memiliki kewajiban untuk melakukan puasa. Agama Hindu misalnya dengan mengadakanUpawasabertujuan untuk mengendalikan nafsu Indria (keinginan). Tatacaranya dengan menyucikan diri dan rohani pada upacaramajaya-jaya(jika dipimpin pandita) ataumaprayascitajika dilakukan sendiri.
Pada kitab Tripitaka, umat Buddha diminta untuk melakukanUposathadengan menjalankan delapan sila(Atthasila)yakni: menghindari membunuh makhluk hidup, mencuri, berhubungan sexual, berbicara atau berkata yang tidak benar, tidak makan dan minum makanan yang melemahkan kesadaran, menghindari makan setelah tengah hari, menghindari menyanyi, menari, bermain musik, melihat hiburan, memakai wangi-wangian, serta alat-alat kosmetik yang bertujuan untuk mempercantik diri, dan menghindari pemakaian tempat tidur yang mewah.
Meski makna puasa dalam agama Protestan dimaknai sebagai tindakan sukarela untuk berpantang sama sekali, tujuan puasa bagi pemeluknya adalah untuk menjadikan kualitas diri yang lebih baik dari sebelumnya.
Puasa mendorong kita untuk meningkatkan kualitas-kualitas diri yang istimewa. Ada konsepself-transformationdanself-disciplinedi sana. Mendisiplinkan diri dalam mengelola beragam keinginan kita secara konsisten dan mengendalikannya secara bertahap. Untuk itu, marilah kita sambut Ramadhan yang penuh berkah dengan penuh suka cita. Secara spiritual, makna puasa bukanlah tentang berkurangnya berat badan, tetapi tentang berkurangnya dosa-dosa dan belajar bagaimana lepas dari ego yang membebani kita (A. Helwa:Secret of Divine Love).
Penulis: Muhsin Nuralim
Mahasiswa Studi Agama-Agama Angkatan Tahun 2020
HMPS Studi Agama-agama -Divisi Intelektual