Kuliah Umum Prodi S1 SAA Semester Genap T.A. 2024-2025: Peluang dan Tantangan Studi Agama-Agama di Masa Depan

Prodi Studi Agama-Agama (SAA) S1 mengadakan Kuliah Umum Semester Genap Tahun Akademik 2024-25 pada 7 mei 2025, di Smart Room, FUPU UIN Sunan kalijaga Yogyakarta dengan tema: Studi Agama-Agama di Masa Depan: Peluang dan Tantangan”. Hadir sebagai narasumber (Dr.Cand) Arafat Noor Abdillah, S.Ag., M.Ag., dan moderator Haetami, M.Ag. Keduanya adalah mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kuliah umum ini dihadiri oleh 70 mahasiswa SAA Angkatan 2023 dan 2024. Dalam sambutannya Kaprodi S1 SAA Roni Ismail, mengutip Sam Haris dalam bukunyaThe End of Faith(2005), mengungkapkan bahwa sejarah agama-agama, khususnya agama Smith atau agama Ibrahim yang menamakan dirinya agama langit, adalah sejarah konflik, peperangan, dan pertumpahan darah. Akan tetapi, pada abad ke-21, wajah yang sama mewarnai agama-agama lain, misalnya konflik antara penganut agama Hindu dan Buddha, antara Hindu dan Islam, serta antara Buddha dan Islam.

Menurut Arafat Noor Abdillah, penyelesaian masalah agama yang telah menjadi bencana dewasa ini lebih sulit dan lebih rumit lagi, karena berbagai konflik kepentingan ekonomi serta politik di berbagai belahan dunia itu telah melibatkan agama. Konflik kepentingan ekonomi dan politik tersebut selalu dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik Irlandia Utara disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen, konflik Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme Thailand Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Gerakan separatisme Maluku Selatan dilatarbelakangi oleh perbedaan Islam-Kristen, juga masalah gerakan Papua Merdeka. Konflik separatisme Aceh ternyata dapat diselesaikan melalui kompromi, karena tidak melibatkan perbedaan agama, mereka sama-sama muslim. Di lain pihak, persamaan agama bisa tidak menyelesaikan masalah, misalnya dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku Kurdi ataupun bangsa Turki dan Irak sama-sama muslim.

Agar sikap dan pelaku agama tersebut bisa lebih teduh dan ramah, diperlukan pembaruan cara keberagaman baru di masa mendatang. Pertama, agama tidak lagi menitikberatkan iman atau akidah, tapi perilaku atau moral (al-akhlaq al-karimah). Kedua, komunikasi antarpenganut agama tidak perlu disertai dengan klaim eksklusif kebenaran, tapi koeksistensi kebenaran atau kebenaran yang plural. Ketiga, dakwah agama jangan menekankan kuantitas pengikut, melainkan kualitas keberagamaan dan pembinaan komunitas. Keempat, dalam persaingan antaragama, prinsip "tujuan menghalalkan cara" harus ditinggalkan. Tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar pula. Kelima, pelaksanaan ajaran agama tidak memerlukan bantuan kekuasaan yang memaksa, dalam hal ini negara. Di sinilah peluang dan tantangan ilmu Studi Agama-Agama sangat strategis untuk membumikan kebeagamaan yang terbuka, toleran, penuh kasih dan kedamaian.